MENCARI PREDIKTOR PERILAKU MEROKOK PADA REMAJA AWAL
Indonesia telah mengalami satu peningkatan terbesar dalam konsumsi tembakau di dunia. Sekitar 69.1% pria Indonesia berusia 20 tahun atau lebih merokok secara reguler dengan jumlah yang lebih tinggi (74%) di daerah pedesaan (http://www.who.or.id/indo, 2002). Data lain menunjukkan bahwa dari 14 propinsi yang ada di Indonesia, 59,04% laki-laki usia 10 tahun ke atas dan 4,83% wanita pada usia yang sama saat ini adalah perokok (Aditama dkk, 1997). Data ini memberikan gambaran bahwa angka merokok di Indonesia dikategorikan tinggi.
Merokok, sebagai salah satu bentuk perilaku berisiko kesehatan semakin menggejala di kalangan usia muda bahkan remaja awal (Sarafino, 1998; Smet, 1994). Terdapat kecenderungan usia mulai merokok semakin muda. Penelitian Prabandari, (1994) menunjukkan bahwa kebanyakan remaja mulai merokok pada usia 15 – 17 tahun. Temuan Aditama dkk (1997) menunjukkan bahwa di 14 propinsi di Indonesia, merokok dimulai pada usia 10 tahun terutama untuk anak laki-laki. Apabila sejak usia 10 tahun seorang anak sudah mulai merokok dan kemudian berkembang menjadi sebuah kebiasaan maka dapat diprediksikan 10-20 tahun kemudian akan tumbuh menjadi individu yang memiliki risiko tinggi untuk menderita penyakit-penyakit tertentu. Menurut Jessor dkk. (dalam
Heaven, 1996) masa remaja merupakan periode yang berisiko terhadap kesehatan. Menurut Rice & Dolgin (2002) masa remaja adalah periode perkembangan antara masa anak-anak sampai masa dewasa. Lebih lanjut dikemukakan bahwa masa remaja dibedakan menjadi remaja awal, berada pada rentang pada usia 11–14 tahun dan masa remaja tengah dengan rentang usia 15-19 tahun. Adapun Steinberg (2002) mengkategorisasikan remaja sebagai remaja awal untuk usia 10-13 tahun, remaja tengah untuk usia 14-18 tahun, dan remaja akhir untuk usia 19-22 tahun. Menurut Sarwono (2002) definisi remaja untuk masyarakat Indonesiadigunakan batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah. Adapun periodisasi masa remaja awal menurut Monks dkk. (2001) dibedakan menjadi remaja awal dengan batasan usia 12-14 tahun, remaja tengah untuk usia 15-18 tahun dan remaja awal akhir 19-24 tahun. Berdasarkan uraian di atas terlihat ada beberapa teori yang mengemukakan periodisasi perkembangan remaja. Dari pembatasan usia yang dikemukakan menunjukkan pembatasan usia yang hampir sama untuk setiap periodisasi remaja, misalnya Rice & Dolgin (2002), Steinberg (2002), Sarwono (2002), maupun Monk dkk. (2001). Dari berbagai teori mengenai periodisasi perkembangan remaja tersebut penulis menggunakan batasan usia remaja secara khusus remaja awal menurut Monks dkk. (2001) karena batasan tersebut lebih sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Adapun penelitian ini lebih ditekankan pada masa remaja awal karena keberhasilan perkembangan pada remaja awal akan menentukan keberhasilan perkembangan pada masa selanjutnya. Di samping itu berbagai penelitian menunjukkan bahwa perilaku merokok di Indonesia kebanyakan mulai dilakukan pada usia remaja awal (Aditama dkk., 1997).
Hasil preliminary study yang dilakukan peneliti pada tanggal 21 Juni 2007 terhadap 75 siswa SMP didapati 46 siswa yang tidak merokok dan 29 siswa yang merokok. Dari 29 siswa yang merokok tersebut, 1 orang siswa mulai merokok pada usia 14 tahun, 21 siswa mulai merokok pada usia 11 tahun, 6 siswa mulai merokok pada usia 12 tahun, 5 siswa mulai merokok pada usia 13 tahun, serta 6 orang mulai merokok pada usia 9 tahun. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa masa remaja awal merupakan masa dimulainya perilaku merokok. Hal ini terkait dengan beberapa karakteristik khas pada masa remaja awal.
Perilaku merokok merupakan masalah kesehatan masyarakat karena dapat menimbulkan berbagai penyakit bahkan kematian. Rokok dan berbagai produk tembakau lainnya bersifat adiktif. Sifat adiktif ini dikarenakan adanya nikotin yang hanya terkandung dalam tembakau. Nikotin adalah zat psikoaktif yang bersifat adiktif yang dapat menimbulkan adiksi dengan cara yang sama dengan substansi lain seperti kokain dan heroin (Sheridan & Radmacher, 1992).
Merokok memberikan konsekuensi yang signifikan baik terhadap kesehatan fisik, psikologis serta ekonomis.
Dampak merokok terhadap kesehatan telah diketahui secara luas. Merokok berakibat terhadap 25% kematian akibat penyakit jantung koroner, 80% kasus penyakit saluran pernafasan kronis, 90% kematian akibat kanker paru, serta memiliki kontribusi terhadap berkembangnya kanker laring, mulut, dan pankreas, serta kanker paru pada perokok pasif (Bennet & Murphy, 1997).
Rokok mengandung berbagai zat kimia beracun yang menyebabkan berbagai gangguan fisik seperti impotensi, kanker, gangguan jantung, dan gangguan pernafasan seperti sesak nafas, penyakit paru obstruktif kronis seperti bronkhitis dan emfisema, serta gangguan kehamilan pada wanita (Insel dkk, 1986). Hal yang lebih penting lagi adalah akibat rokok yang tidak hanya dirasakan oleh si perokok, melainkan juga harus ditanggung oleh orang-orang yang ada di sekitarnya (perokok pasif). Perokok pasif yang tinggal bersama perokok memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit kronis (Emmons dkk, 1994). Di samping itu merokok dapat menimbulkan efek adiksi akibat adanya nikotin yang terkandung dalam rokok.
Saat ini kecanduan nikotin telah dimasukkan sebagai salah satu bentuk gangguan terkait dengan substansi dan sudah tercantum dalam DSM IV-R. Gangguan penggunaan nikotin dinilai sebanding dengan obat-obat berbahaya lainnya karena nikotin juga dapat menimbulkan pola ketergantungan, toleransi dan withdrawal (Durran & Barlow, 2003).
Secara psikologis merokok sering dianggap sebagai salah satu cara untuk menumbuhkan afeksi positif, menimbulkan efek relaksasi, menghilangkan kecemasan, menimbulkan ketergantungan psikologis untuk mengatur keadaan emosinya (Tomkins dalam Sarafino, 1998). Meskipun terdapat keuntungan psikologis yang dirasakan tetapi cara-cara ini bukanlah cara yang adaptif untuk pengatasan masalah. Keuntungan psikologis yang diperoleh tidak sebanding dengan risiko kesehatan fisik yang akan dialami.
Karena biaya kesehatan yang harus dikeluarkan untuk pengobatan penyakit akibat merokok jauh lebih besar dibandingkan biaya untuk membeli rokok itu sendiri. Selain itu merokok juga terkait dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan yang tidak menguntungkan bagi kesehatan, seperti konsumsi obat-obat terlarang, minuman beralkohol (Astuti, 2004), serta berkurangnya aktivitas fisik sebagai pengisi waktu luang (French, dkk. 1996).
Inisiasi merokok pada usia-usia awal ini lebih berbahaya daripada penggunaan awal pada usia-usia yang lebih tua karena pada umumnya akan menjadi prediktor bagi sejumlah problem pada remaja seperti putus sekolah, perilaku seks tidak sehat, dan delikuensi. Selain itu merokok merupakan pintu gerbang pertama untuk penyalahgunaan obat-obatan (Steinberg, 2002). Sejumlah studi krosseksional menunjukkan bahwa merokok berhubungan dengan penggunaan alkohol dan obat-obatan (Sequera & Brook, 2003). Menurut Shiffman dan Balabanis (Degruy dkk, 2002) prevalensi merokok di antara orang-orang yang kecanduan alkohol sebesar 80-95%, juga diestimasi bahwa 30% perokok diperkirakan sebagai alkoholik. Lebih lanjut dijelaskan bahwa remaja yang merokok 3 kali kemungkinan untuk menggunakan alkohol dan kemungkinan para perokok menjadi alkoholik 10 kali lebih besar daripada non perokok.
Secara ekonomis merokok merupakan kegiatan pemborosan karena perokok akan menghamburkan uang setiap hari minimal Rp 12.000, (diasumsikan harga rokok Rp. 600 perbatang), sehingga pengeluaran per bulan untuk rokok mencapai Rp. 360.000. Setiap tahun orang akan kehilangan dana sebesar Rp. 4.320.000 dan mengurangi pendapatan keluarga sekitar 25% untuk belanja rokok (Republika, 2005). Dalam lingkup negara meskipun nampaknya negara diuntungkan dengan adanya cukai rokok yang diterima setiap tahun mencapai 10 triliun tetapi di sisi lain setiap tahun negara kehilangan dana sekitar 30 triliun rupiah untuk biaya pengobatan penyakit akibat merokok (Republika, 2005). Tingginya perilaku merokok juga berpengaruh terhadap biaya perawatan kesehatan. Menurut estimasi Bank Dunia, di negara-negara dengan income yang tinggi perbandingan biaya perawatan kesehatan akibat perilaku merokok dengan biaya perawatan kesehatan tahunan adalah 6-15% : 1% (WHO Report, 2002). Besarnya perbedaan ini menunjukkan bahwa merokok memberikan konsekuensi biaya kesehatan yang tinggi.
Komentar Terbaru